PEMBAHASAN
Hadits Ar Rahn (Gadai)
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ
إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Sesungguhnya, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dari seorang yahudi dengan
cara berutang, dan beliau menggadaikan baju besinya.” (Hr.
Al-Bukhari no. 2513 dan Muslim no. 1603).[1]
ﻋنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ مَشَى إِلَى النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخُبْزِ شَعِيرٍ وَإِهَالَةٍ سَنِخَةٍ
وَلَقَدْ رَهَن دِرْعًا لَهُ عِنْدَ
يَهُودِيٍّ بِالْمَدِينَةِ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا لِأَهْلِهِ
“Anas Ibn Malik suatu
saat mendatangi Rasulullah dengan membawa roti gandum dan sungguh Rasulullah
SAW telah menangguhkan baju besi kepada orang Yahudi di Madinah ketika beliau
mengambil (meminjam) gandum dari orang Yahudi tersebut untuk keluarga
Nabi.”[2]
ﺍﻠﺭﻫﻥﹸﻴﺭﻜﺏﹸﺒﻨﻔﻘﺘﻪﹺﺇﺫﹶﺍﻜﺎﻥﹶﻤﺭﻫﻭﻨﺎﹰﻭﻟﺒﻥﹸﺍﻟﺩﱠﺭﱢﻴﺸﺭﺏﹸﺒﻨﻔﻘﺘﻪﹺﺇﺫﺍﻜﺎﻥﹶﻤﺭﻫﻭﻨﺎﹰﻭﻋﺎﻰﺍﻠﺫﻱ ﻴﺭﻜﺏﹸﻭﻴﺸﺭﺏﹸﺍﻠﻨﻔﻘﺔﹸ
“Binatang
tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila
sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan
atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu
berkewajiban untuk memberi makanan.”(Hr. Bukhori, no.2512).[3]
ﺤﺩﹲﺜﻨﺎﹶﺍﺒﻭﻜﺭﹶﻴﺏﹴﻭﻴﻭﺴﻑﹸﺒﻥﹸﻋﻴﺱﹶﻗﺎﻝ:ﺤﺩﹲﺜﻨﺎﻭﻜﻴﻊﹼﻋﻥﹾﺯﹶﻜﺭﻴﺎﹲ‚ﻋﻥﹾﻋﺎﻤﺭﹴ‚ﻋﻥﹾﺍﺒﻰﻫﺭﻴﺭﺓ‚ﻗﺎﻝﹶﺭﺴﻭﻝﹸﺍﻠﻠﻪﹺﺼﻠﻰﺍﻠﻠﻪﹸﻋﻠﻴﻪﹺﻭﺴﻠﻡﹶﺍﻠﻅﻬﺭﹸﻴﺭﹾﻜﺏﺇﺫﹶﺍﻜﺎﻥﹶﻤﺭﻫﻭﻨﺎﹰﻭﻟﺒﻥﹸﺍﻟﺩﱠﺭﱢﺇﺫﺍﻜﺎﻥﹶﻤﺭﻫﻭﻨﺎﹰﻭﻋﺎﻰﺍﻠﺫﻱ ﻴﺭﻜﺏﹸﻭﻴﺸﺭﺏﹸ ﻨﻔﻘﺔﹸ
“Abu Kuraib bin Yusuf bin Isa menceritakan kepada kami, mereka berkata: Wakkie’
menceritakan kepada kami dari Zakaria dari Amir dari Abu Hurairah
berkata:Rasulullah SAW bersabda: Punggung hewan yang digadaikan boleh dinaiki
dan susu yang ada di teteknya boleh diminum kalau hewan itu digadaikan. Dan
bagi orang yang menaikinya dan meminum susunya wajib memberi nafkahnya.[4]
ﻋﻥﹾﺍﺒﻥﹺﻫﺭﻴﺭﺓ‚ﻋﻥﹺﺍﻠﻨﺒﻲﹺﺼﻠﻰﺍﻠﻠﻪﹸﻋﻠﻴﻪﹺﻭﺴﻠﻡ‚ﻗﺎﻝ:ﻠﺒﻥﺍﻠﺩﱠﺭﱢﻴﺤﻠﺏﺒﻨﻔﻘﺘﻪﹺ‚ﺍﺫﺍﻜﺎﻥﹶﻤﺭﹾﻫﻭﻨﺎ‚ﻭﺍﻠﻅﻬﺭﹸﺒﻥﻜﺒﻰﺒﻨﻔﻘﺘﻪﹺ‚ﺍﺫﺍﻜﺎﻥﹶﻤﺭﻫﻭﻨﺎ‚ﻭﻋﻠﻰﺍﻠﺫﻱﻴﺭﻜﺏﹸﻭﻴﺤﻠﺏﺍﻠﻨﻔﻘﺔﹶ.
“Artinya:
dari Abu Hurairah R.A dari Nabi SAW, Beliau bersabda: susu hewan perah, diperah
sebab nafkahnya apabila digadaikan. Binatang kendaraan juga dikendarai sebab
nafkahnya apabila digadaikan dan terhadap yang mengendarai dan memerahnya,
wajib memberi nafkahnya.[5]
ﻻﹶﻴﻐﻠﻕﹸﺍﻠﺭﻫﻥﹶﻤﻥﺼﺎﹶﺤﺒﻪﹺﺍﻠﺫﻯﺭﻫﻨﻪﻠﻪﻏﻨﻤﻪﻭﻋﻠﻴﻪﹺﻏﺭﻤﻪ
“
Janganlah ia (pemegang gadaian) menutup hak gadaian dari pemiliknya (rahin)
yang menggadaikan. Ia berhak memperoleh bagiannya. Dan dia berkewajiban
membayar gharamahnya.”[6]
ﻠﻪﹸﻏﻨﻤﻪﹸﻭﻋﻠﻴﻪﻏﺭﻤﻪﹸ
“ Dia
yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya menanggung biaya
pemeliharaannya.” (Hr. Ad-Daruquthni dan al-Hakim).[7]
Penjelasannya
Tujuh
hadits di atas secara jelas menggambarkan fakta sejarah bahwa pada zaman
Rasulullah SAW gadai telah dipraktekkan secara luas. Hadits pertama dan kedua
menegaskan Rasulullah SAW pernah melakukan hutang piutang dengan orang Yahudi
untuk sebuah makanan. Kemudian beliau menggadaikan (menjaminkan) baju besinya
sebagai penguat kepercayaan transaksi tersebut.
Sedangkat
hadits ketiga, keempat, dan kelima Rasulullah SAW telah menegaskan akan hak dan
kewajiban bagi pihak- pihak yang melakukan akad gadai. Murtahin dapat
memanfaatkan kendaraan yang digadaikan kepadanya, selama ia mau merawatnya.
Hal- hal tersebut merupakan landasan hadits yang cukup kuat bahwa gadai adalah
sesuatu yang dianggap syah.
Hadits
kelima diriwayatkan oleh Bukhori, Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Pada intinya
pegadaian itu boleh dan barang yang digadaikan harus tetap dirawat. Ada 3
pendapat mengenai hadits di atas:. pertama, Ahmad Bin Hambal
berpendapat bahwa piutang boleh memanfaatkan barang dan pemanfaatannya sesuai
dengan nafkah yang diperlukan. Kedua, Abu Tsawr berpendapat barang
boleh dipegang oleh orang yang menggadaikan. Boleh tetap diambil manfaat selama
diberi nafkah.Ketiga, Syafi’I berpendapat bahwa masing- masing pihak
tidak boleh mengambil manfaat sebab hanya sebagai barang kepercayaan tetapi
orang yang merawat adalah si penggadai.
Pada
hadits keenam adalah tentang himbauan untuk tidak menutup hak gadaian terhadap
penyitaan barang gadaian. Hadits ini diriwayatkan oleh Asy Syafi’I, Al- Atsram
dan darulquthni serta ia mengatakan “Sanadnya hasan muttashil. Ibnu hajar dalam
bulughul maram mengatakan “Para perawinya tsiqat. Sesungguhnya (data) yang
tersimpan pada Abu Daud dan lainnya, hadits mursal.
Dan pada
hadits ketujuh tentang perolehan pemanfaatan barang gadaian. Dalam hal ini ada
beberapa pendapat, Asy-Syafi’I berkata “Tak sesuatupun dari yang demikian
itu termasuk dalam barang gadaian”. Dan Imam Malih berkata: Tidak masuk kecuali
anak binatang dan anak pohon kurma. Barang gadaian adalah amanat yang ada ditanggung
pemegang gadaian, ia tidak berkewajiban meminta ganti kecuali jika melewati
batas (kebiasaan), demikian menurut Ahmad dan Asy-Syafi’i.
Dengan
adanya beberapa pendapat dari para ulama di atas, dapat diartikan bahwa Gadai
(rahn) sendiri secara bahasa artinya tetap dan lestari, seperti juga dinamai
Al-Habsu, artinya penahanan. Adapun definisi rahn dalam istilah syariat,
dijelaskan para ulama dengan ungkapan, “Menjadikan harta benda sebagai jaminan
utang, agar utang bisa dilunasi dengan jaminan tersebut, ketika si peminjam
tidak mampu melunasi utangnya.”
“Atau
harta benda yang dijadikan jaminan utang untuk melunasi (utang tersebut) dari
nilai barang jaminan tersebut, apabila si peminjam tidak mampu melunasi
utangnya.”
“Memberikan
harta sebagai jaminan utang agar digunakan sebagai pelunasan utang dengan harta
atau nilai harta tersebut, bila pihak berutang tidak mampu melunasinya.”
Adapun
beberapa rukun dan syarat dalam melakukan gadai. Rukun ar-Rahn (Gadai),
Mayoritas ulama memandang bahwa rukun ar-rahn (gadai) ada empat, yaitu: Ar-rahn
atau al-marhun (barang yang digadaikan), Al-marhun bih (utang), Aqidain, dua
pihak yang bertransaksi, yaitu rahin (orang yang menggadaikan) dan
murtahin (pemberi utang), Shigat Ijab Qabul.
Sedangkan Mazhab Hanafiyah memandang ar-rahn
(gadai) hanya memiliki satu rukun yaitu shighah, karena pada hakikatnya dia
adalah transaksi.
Agar terpenuhinya rukun, maka diperlukan syarat
dalam pemenuhannya, yaitu: Syarat yang berhubungan dengan transaktor (orang
yang bertransaksi), yaitu orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang
memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal, dan rusyd (memiliki
kemampuan mengatur). Syarat yang berhubungan dengan al-marhun (barang gadai).
· Barang gadai itu berupa barang berharga yang
dapat menutupi utangnya, baik barang atau nilainya ketika si peminjam tidak
mampu melunasi utangnya.
· Barang gadai tersebut adalah milik orang yang
manggadaikannya atau yang diizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan
gadai.
· Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran,
jenis, dan sifatnya, karena ar-rahn adalah transaksi atau harta sehingga
disyaratkan hal ini.
Syarat yang berhubungan dengan al-marhun bih
(utang) adalah utang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.
· Hak yang wajib dikembalikan kepada kreditor
· Utang bias dilunasi dengan agunan tersebut.
· Utang jelas dan tertentu.
Syarat yang terkait dengan shighat ijab qabul;
ucapan serah terima disyaratkan; harus ada kesinambungan antara ucapan
penyerahan (ijab) dan ucapan penerimaan. Apa yang diucapkan oleh kedua belah
pihak tidak boleh ada jeda dari transaksi lain.
Hukum-hukum
Setelah Serah Terima
Ada
beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah-terima yang berhubungan
dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai, pemanfaatan, serta
jaminan pertanggungjawaban bila barang gadai rusak atau hilang, di antaranya:
Pertama, pemegang
barang gadai.
Barang
gadai tersebut berada ditangan murtahin selama masa perjanjian gadai tersebut,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ
الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ
نَفَقَتُهُ
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. TIrmidzi; hadits shahih)
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. TIrmidzi; hadits shahih)
Kedua, pembiayaan
pemeliharaan dan pemanfaatan barang gadai.
Pada
asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah
milik orang yang menggadaikan (rahin), dan murtahin tidak boleh mengambil
manfaat barang gadaian tersebut kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan
atau hewan yang diambil air susunya, maka murtahin boleh menggunakan dan
mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam pemeliharaan barang
tersebut).
Tentunya,
pemanfaatannya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan
keadilan. Hal ini di dasarkan pada sabda Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa
sallam,
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا
كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى
الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“Binatang
tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila
sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan
atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu
berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. TIrmidzi; hadits
shahih).
Syekh
al-Basam menyatakan, “Menurut kesepakatan ulama, biaya pemeliharaan barang
gadai dibebankan kepada pemiliknya.”
Demikian
juga, pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga miliknya, kecuali dua
pengecualian ini (yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang
diperas, pen).
Penulis
kitab al-Fiqh al-Muyassar menyatakan, “Manfaat dan pertumbuhan
barang gadai adalah hak pihak penggadai, karena itu adalah miliknya. Orang lain
tidak boleh mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan murtahin (pemberi
utang) untuk mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan dan utang gadainya
dihasilkan dari peminjaman, maka yang demikian itu tidak boleh dilakukan,
karena itu adalah peminjaman utang yang menghasilkan manfaat.
Adapun
bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu perah, maka
murtahin diperbolehkan untuk mengendarainya dan memeras susunya sesuai besarnya
nafkah yang dia berikan kepada barang gadai tersebut, tanpa izin dari
penggadai, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الرَّهْنُ يُرْكَبُ
بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ
إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Binatang
tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila
sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan
atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu
berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. Al-Bukhari, no.
2512).
Ini adalah pendapat Mazhab
Hanabilah. Adapun mayoritas ulama fikih dari Mazhab Hanafiyah, Malikiyah, dan
Syafi’iyah berpandangan tentang tidak bolehnya murtahin mengambil manfaat
barang gadai, dan pemanfaatan hanyalah hak penggadai, dengan dalil sabda
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ
غَرَمُهُ
“Dia yang berhak
memanfaatkannya dan wajib baginya menanggung biaya pemeliharaannya.” (Hr.
Ad-Daruquthni dan al-Hakim)
Tidak ada
ulama yang mengamalkan hadits pemanfaatan kendaraan dan hewan perah sesuai
nafkahnya kecuali Ahmad, dan inilah pendapat yang rajih -insya Allah- karena
dalil hadits shahih tersebut. Ibnul Qayyim memberikan komentar atas hadits
pemanfaatan kendaraan gadai dengan pernyataan, “Hadits ini serta kaidah dan
ushul syariat menunjukkan bahwa hewan gadai dihormati karena hak Allah.
Pemiliknya memiliki hak kepemilikan dan murtahin (yang memberikan utang) memiliki
hak jaminan padanya.
Bila
barang gadai tersebut berada di tangan murtahin lalu dia tidak ditunggangi dan
tidak diperas susunya, maka tentu akan hilanglah kemanfaatannya secara sia-sia.
Sehingga, berdasarkan tuntutan keadilan, analogi (qiyas), serta untuk
kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai (murtahin), dan hewan tersebut,
maka murtahin mengambil manfaat, yaitu mengendarai dan memeras susunya, serta
dan menggantikan semua manfaat itu dengan cara menafkahi (hewan tersebut).
Bila
murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah, maka
dalam hal ini ada kompromi dua kemaslahatan dan dua hak.”
Ketiga,
pertumbuhan barang gadai.
Pertumbuhan
atau pertambahan barang gadai setelah dia digadaikan, adakalanya bergabung dan
adakalanya terpisah. Bila tergabung, seperti (bertambah) gemuk, maka ia
termasuk dalam barang gadai, dengan kesepakatan ulama. Adapun bila dia
terpisah, maka terjadi perbedaan pendapat ulama dalam hal ini.
Abu
hanifah dan Imam Ahmad, serta yang menyepakatinya, berpandangan bahwa
pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah barang gadai
berada di tangan murtahin akan diikut sertakan kepada barang gadai tersebut.
Sedangkan
Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm, serta yang menyepakatinya, berpandangan bahwa hal
pertambahan atau pertumbuhan barang gadai tidak ikut serta bersama barang
gadai, namun menjadi milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja, Ibnu hazm
berbeda pendapat dengan Syafi’i dalam hal kendaraan dan hewan menyusui, karena
Ibnu Hazm berpendapat bahwa dalam kendaraan dan hewan yang menyusui,
(pertambahan dan pertumbuhannya) menjadi milik orang yang menafkahinya.
Keempat, perpindahan
kepemilikan dan pelunasan utang dengan barang gadai.
Barang
gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada murtahin apabila telah selesai masa
perjanjiannya, kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya (rahin) dan dia
tidak mampu melunasi utangnya.
Pada
zaman jahiliyah dahulu, apabila pembayaran utang telah jatuh tempo, sedangkan
orang yang menggadaikan belum melunasi utangnya, maka pihak yang memberi
pinjaman uang akan menyita barang gadai tersebut secara langsung tanpa izin
orang yang menggadaikannya (si peminjam uang).
Kemudian,
Islam membatalkan cara yang zalim ini dan menjelaskan bahwa barang gadai
tersebut adalah amanat pemiliknya yang berada di tangan pihak yang memberi
pinjaman. Karenanya, pihak pemberi pinjaman tidak boleh memaksa orang yang menggadaikan
barang tersebut untuk menjualnya, kecuali si peminjam tidak mampu melunasi
utangnya tersebut.
Bila dia
tidak mampu melunasi utangnya saat jatuh tempo, maka barang gadai tersebut
dijual untuk membayar pelunasan utang tersebut. Apabila ternyata hasil
penjualan tersebut masih ada sisanya, maka sisa penjualan tersebut menjadi
milik pemilik barang gadai (orang yang menggadaikan barang tersebut). Bila
hasil penjualan barang gadai tersebut belum dapat melunasi utangnya, maka orang
yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa utangnya. [29]
Demikianlah,
barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya. Namun bila pembayaran
utang telah jatuh tempo, maka penggadai meminta kepada murtahin
(pemilik piutang) untuk menyelesaikan permasalahan utangnya, karena itu adalah
utang yang sudah jatuh tempo maka harus dilunasi seperti utang tanpa gadai.
Bila ia
dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian) barang
gadainya, maka murtahin melepas barang tersebut. Bila ia tidak mampu melunasi
seluruhnya atau sebagiannya, maka wajib bagi orang yang menggadaikan (rahin)
untuk menjual sendiri barang gadainya atau melalui wakilnya dengan izin dari
murtahin, dan murtahin didahulukan atas pemilik piutang lainnya dalam
pembayaran utang tersebut.
Apabila
penggadai tersebut enggan melunasi utangnya dan menjual barang gadainya, maka
pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara agar ia menjual barang gadainya
tersebut. Dan apabila dia tidak juga menjualnya, maka pemerintah menjual barang
gadai tersebut dan melunasi utang tersebut dari nilai hasil jualnya. Inilah
pendapat Mazhab Syafi’iyah dan Hambaliyah.
Malikiyah
berpandangan bahwa pemerintah boleh menjual barang gadainya tanpa
memenjarakannya, serta boleh melunasi utang tersebut dengan hasil penjualannya.
Sedangkan Hanafiyah berpandangan bahwa murtahin boleh menagih pelunasan utang
kepada penggadai, serta meminta pemerintah untuk memenjarakannya bila dia
tampak tidak mau melunasinya. Pemerintah (pengadilan) tidak boleh menjual
barang gadainya. Pemerintah hanya boleh memenjarakannya saja, sampai ia menjual
barang gadainya, dalam rangka meniadakan kezaliman.
Yang
rajih, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi utangnya dengan hasil
penjualan tersebut tanpa memenjarakan si penggadai, karena tujuannya adalah
membayar utang dan itu telah terealisasikan dengan penjualan barang gadai.
Selain itu, juga akan timbul dampak sosial yang negatif di masyarakat jika si
penggadai (yang merupakan pihak peminjam uang) dipenjarakan.
Apabila
barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh utangnya maka selesailah utang
tersebut, dan bila tidak dapat menutupinya maka penggadai tersebut tetap
memiliki utang, yang merupakan selisih antara nilai barang gadainya yang
telah dijual dan nilai utangnya. Dia wajib melunasi sisa utang tersebut.
Demikianlah
keindahan Islam dalam permasalah gadai, tidak seperti realita yang banyak
berlaku, yaitu pemilik piutang menyita barang gadai yang ada padanya, walaupun
nilainya lebih besar dari utang si pemilik barang gadai, bahkan mungkin
berlipat-lipat. Ini jelas merupakan perbuatan jahiliyah dan sebuah bentuk
kezaliman yang harus dihilangkan.
Hikmah Pensyariatannya
Dalam sebuah hadits dari Umar Bin Khattab, R.A.
dia berkata: nabi SAW bersabda “ sesungguhnya diantara para hamba Allah
ada beberapa manusia, mereka bukan para Nabi, bukan pula para syuhada’, di hari
kiamat kelak merasa iri kepada mereka, sebab kedudukan mereka yang
dianugerahkan Allah ta’ala” Para sahabat bertanya “Wahai Rasulullah,
beritahukanlah kami, siapakah mereka itu? “ Beliau bersabda “ Mereka adalah
suatu kaum yang saling cinta mencintai karena Allah. Bukan karena ikatan family
antara mereka, dan bukan pula karena harta yang mereka berikan berbalas
balasan. Demi Allah, wajah- wajah mereka adalah Nur. Dan mereka benar- benar
berada diatas Nur. Mereka tidak merasa ketakutan, dan mereka tidak merasa
ketakutan dan mereka tidak merasa susah. Sewaktu manusia merasa susah.”
Selajutnya Beliau membaca ayat: “Ketahuilah, bahwa para wali Allah, tak ada
ketakutan atas mereka, dan mereka tidak merasa susah.”(surah 10: 62).
Keadaan setiap orang berbeda, ada yang kaya dan
ada yang miskin, padahal harta sangat dicintai setiap jiwa. Lalu, terkadang di
suatu waktu, seseorang sangat membutuhkan uang untuk menutupi kebutuhan-kebutuhannya
yang mendesak. Namun dalam keadaan itu, dia pun tidak mendapatkan orang yang
bersedekah kepadanya atau yang meminjamkan uang kapadanya, juga tidak ada
penjamin yang menjaminnya.
Hingga ia mendatangi orang lain untuk membeli
barang yang dibutuhkannya dengan cara berutang, sebagaimana yang disepakati
kedua belah pihak. Bisa jadi pula, dia meminjam darinya, dengan ketentuan, dia
memberikan barang gadai sebagai jaminan yang disimpan pada pihak pemberi utang
hingga ia melunasi utangnya.Oleh karena itu, Allah mensyariatkan ar-rahn
(gadai) untuk kemaslahatan orang yang menggadaikan (rahin), pemberi utangan
(murtahin), dan masyarakat.
Untuk rahin, ia mendapatkan keuntungan berupa
dapat menutupi kebutuhannya. Ini tentunya bisa menyelamatkannya dari krisis,
menghilangkan kegundahan di hatinya, serta terkadang ia bisa berdagang dengan
modal tersebut, yang dengan itu menjadi sebab ia menjadi kaya.
Adapun murtahin (pihak pemberi utang), dia akan
menjadi tenang serta merasa aman atas haknya, dan dia pun mendapatkan
keuntungan syar’i. Bila ia berniat baik, maka dia mendapatkan pahala dari
Allah.
Adapun
kemaslahatan yang kembali kepada masyarakat, yaitu memperluas interaksi
perdagangan dan saling memberikan kecintaan dan kasih sayang di antara manusia,
karena ini termasuk tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. Terdapat manfaat
yang menjadi solusi dalam krisis, memperkecil permusuhan, dan melapangkan
penguasa.
KESIMPULAN
Dengan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa praktek gadai sudah terjadi
sejak zaman Rasulullah, yaitu ketika beliau menggadaikan baju besinya kepada
orang yahudi. Oleh karena itu gadai dibolehkan. Adapun beberapa pendapat ulama
mengenai gadai, seperti Imam Syafi’I, Ahmad bin Hambal, Abu Tsawr, Tirmidzi,
Abu Daud yang menjelaskan gadai dengan pemikiran mereka masing- masing.
Pada dasarnya gadai merupakan akad tabaruk, yaitu akad tolong menolong. Dimana
setiap manusia haruslah saling tolong menolong. Disini manusia menyadari bahwa
mereka tidak bisa hidup sendiri di dunia ini. Dengan perbedaan yang ada manusia
bisa mempelajari dan memahami berbagai lika liku kehidupan. Bahwa dengan adanya
perbedaan tercipta sesuatu yang indah didalamnya.
[4] Muhammad Isa bin Surah At-Tirmidzi, Terjemhan
Sunan Tirmidzi, juz 2 “Terj.”Muh. Zuhri (Semarang,Asy-Syifa:1992) hal.
611.
[5] Sunan Abi Daud, Terjemahan Sunan
Abi Daud, Buku 4“Terj.”Bey Arifin, dkk. (Semarang, Asy-Syifa: tt) hlm.
118-119.
[6] Syayid Tsabiq, Fiqh Sunnah 12,
alih bahasa kamaludin A, (Kuala lumpur, Victory Agencie:1990), hlm. 145.