Rabu, 18 Maret 2015

Syirkah Musahamah

A.    Latar Belakang
Seiring berkembangnya zaman, masyarakat mulai menyadari bahwasannya mereka membutuhkan jalan terbaik dalam sistem perekonomian. Segala jenis produk yang ada dipasar merupakan aplikasi dari kapitalisme, yang secara tidak langsung akan mengkhawatirkan kaum lemah yang tidak memiliki kekayaan maupun kekuasaan.
Pada awal abad 18, mulai lah banyak pemikiran mengenai sistem ekonomi islam yang dianggap sebagai salah satu solusi terbaik untuk diterapkan. Segala jenis produk syariah mulai banyak dipertimbangkan dan dibanding-bandingkan dengan sistem yang konvensional.
Maka dari itu, segala jenis bidang mulai diarahkan sesuai ajaran Islam, tak lain kami akan membahas salah satu syirkah yang belum banyak terpublikasi, padahal syirkah ini memiliki peranan penting dalam investasi (saham), yaitu syirkah musahamah. Bagaimana kita dapat bekerja sama sesuai ajaran Islam dan mengaplikasikan dalam kehidupan.

B.     Pembahasan
a.       Syirkah Secara Umum
Secara etimologi, syirkah atau perkongsian berarti:
اَلْإِخْتِلاَطُ أَىْ خَلْطُ أَحَدِالْمَالَيْنِ بِا لْاخَرِبِحَيْثُ لاَ يَمَتْزَانِ عَنْ بَعْضِهِمَا.
Artinya:
Percampuran, yakni bercampurnya salah satu dari dua harta dengan harta lainnya, tanpa dapat dibedakan antara keduanya.
Menurut terminologi, ulama fiqh beragam pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain:
-          Menurut Malikiyah
هِيَ اِذَنْ فِى التَّصَرُّفِ لَهُمَا مَعًا اَنْفُسُهُمَا اَيْ أَنْ يَأْذَنَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الشَّرِيْكَيْنِ لِصَاحِبِهِ فِى أَنْ يَتَصَّرَفَ فِى مَالٍ لَهُمَا مَعَ إِبْقَاءِ حَقِّ التَّصَرُّفِ لِكُلٍّ مِنْهُمَا.
Artinya:
Perkongsian adalah izin untuk mendayagunakan (tasharruf) harta yang dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun masing-masing memiliki hak untuk bertasharruf.”
-          Menurut Hanabilah
اَلْإِجْتِمَاعُ فِى اِسْتِقَاقٍ أَوْتَصَرُّفٍ.
Artinya:
perhimpunan adalah hak (kewenangan) atau pengolahan harta (tasharruf).”
-          Menurut Syafi’iyah
ثُبُوْتُ الْحَقِّ فِى شَىْءٍ لاِثْنَيْنِ فَاَكْثَرَعَلَى جِهَةِالشُّيُوْعِ.
Artinya:
ketetapan hak pada sesuatu yang dimiliki dua orang atau lebih dengan cara yang masyhur (diketahui).”
-          Menurut Hanafiyah
عِبَارَةٌ عَنْ عَقْدٍبَيْنَ الْمُتَشَارِكَيْنِ فِى رَأْسِ الْمَالِ وَالرِّبْحِ.
Artinya:
Ungkapan tentang adanya transaksi (akad) antara dua orang yang bersekutu pada pokok harta dan keuntungan.”[1]

Secara garis besar, syirkah adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam sebuah usaha dengan konsekuensi keuntungan dan kerugiannya ditanggung secara bersama.
Rukun syirkah adalah sesuatu yang harus ada ketika syirkah itu berlangsung. Menurut ulama Hanafiah, rukun syirkah hanya ijab dan qabul atau serah terima. Sedangkan orang yang berakad dan obyek akad bukan termasuk rukun, tapi syarat. Menurut jumhur ulama, rukun syirkah meliputi shighat (lafaz) ijab dan qabul, kedua orang yang berakad, dan obyek akad.
Syarat umum syirkah, antara lain:
1.      Syirkah itu merupakan transaksi yang boleh diwakilkan, artinya salah satu pihak jika bertindak hukum terhadap obyek syirkah itu, dengan izin pihak lain, dianggap sebagai wakil seluruh pihak yang berserikat. Juga, anggota serikat saling mempercayai.
2.      Prosentase pembagian keuntungan untuk masing-masing pihak yang berserikat dijelaskan ketika akad berlangsung.
3.      Keuntungan diambil dari hasil laba harta perserikatan, bukan dari harta lain.

b.      Pengertian Syirkah Musahamah
Syirkah musahamah adalah penyertaan modal usaha yang dihitung dengan jumlah lembar saham (bukan dengan nilai nominal) yang diperdagangkan di pasar modal sehingga pemiliknya dapat berganti-ganti dengan mudah dan cepat.[2] Syirkah musahamah bermanfaat bagi pengembangan bisnis karena saham disebar dalam jumlah yang besar; modal syarik tidak berubah karena keluarnya pemegang saham lama (dengan cara jual dijual) atau masuknya pemegang saham baru (dengan cara membeli).
Dapat dikatakan pula bahwa syirkah musahamah adalah Akad (kontrak) dua orang atau lebih yang masing-masing terikat untuk berkontribusi dalam proyek bisnis dengan menyetor bagian harta (modal), untuk berbagi keuntungan dan kerugian yang muncul dari proyek itu.
Saham merupakan bukti kepemilikan (ekuitas). Membeli saham berarti memiliki sebagian dari perusahaan, artinya Anda juga berbagi risiko dengan emiten (penerbit saham). Bila emiten mendapat laba, sebagian akan dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk dividen. Menerbitkan saham, di samping saham yang sudah dimiliki oleh perusahaan sebelumnya, merupakan salah satu pilihan perusahaan ketika memutuskan dalam hal pendanaan perusahaan.
Tujuan umum dari syirkah adalah untuk menciptakan kesejahteraan pelakunya, sedangkan tujuan dari syirkah musahamah dilakukan guna menciptakan kesejahteraan umum (bukan hanya pebisnisnya).[3]

c.       Perseroan Terbatas (PT)
Perseroan Terbatas yaitu persekutuan untuk menjalankan perusahaan yang mempunyai modal usaha yang terbagi atas beberapa saham, setiap sekutu turut mengambil bagian sebanyak satu saham atau lebih.
“Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan: Perseroan Terbatas (PT), yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.”

Ciri-ciri PT diantaranya yaitu :
1.      Para pemegang saham bertanggungjawab terbatas terhadap utang-utang perusahaan sebesar modal yang disertakan.
2.      Kekayaan PT terpisah dari kekayaan pribadi masing-masing pemegang saham.
3.      Pemegang saham berhak mendapatkan dividen apabila perusahaan mendapatkan keuntungan , dan
4.      Perusahaan yang berbadan hukum PT didirikan dengan akta notaris yang antara lain membuat nama PT dan modal.
Jenis-jenis PT dibedakan menjadi empat bagian yaitu :
1.      PT Tertutup yaitu PT yang saham-sahamnya hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu
2.      PT Terbuka yaitu PT yang saham-sahamnya dimiliki oleh setiap orang
3.      PT Kosong yaitu PT yang sudah tidak lagi menjalankan kegiatannya, tinggal namanya saja
4.      PT Asing yaitu PT yang didirikan di Negara lain yang berkedudukan di Negara tersebutdan tunduk pada hukum Negara.[4]
Pendirian perseroan terbatas seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dalam hubungannya dengan syirkah terlihat bahwa:
1)      Perseroan didirikan dua orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam Bahasa Indonesia; dan
2)      Setiap pendiri perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat perseroan didirikan.
Perseroan terbatas dari segi konsep syirkah yang kontemporer disebut syirkah musahamah; yaitu kerja sama antara dua pihak atau lebih guna melakukan usaha untuk memperoleh keuntungan yang modalnya dinyatakan/dinilai dalam bentuk saham (bukan dengan nilai nominal) yang diperdagangkan di pasar modal; pertanggungjawaban pemegang saham sesuai dengan jumlah yang dimiliki; keuntungan dan kerugian yang diterima oleh pemegang saham sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki. Perseroan terbatas termasuk subjek hukum yang di dalamnya terdapat investor (pemodal), komisaris yang mewakili kepentingan investor, masyarakat dan pihak otoritas; pengurus dan pegawai.
Syirkah musahamah dari sudut praktik memberlakukan dua akad karena menyangkut banyak pihak. Bagi sesama investor berlaku akad syirkah; bagi komisaris dan pengurus berlaku akad ijarah yang besar ujrahnya ditetapkan dalam RUPS; sedangkan bagi pegawai juga berlaku akad ijarah yang besar ujrahnya ditetapkan oleh pengurus.
Perseroan terbatas dilihat dari sifatnya dibedakan menjadi dua: Perseroan Terbatas Tertutup, dan Perseroan Terbatas Terbuka (Tbk). Perseroan terbatas terbuka secara konseptual berhubunngan dengan syirkah mas’uliyah mahdudah; karena terdapat criteria mengenai jumlah pemilik saham dari perseroan yang bersangkutan. Dalam kitab al-Fiqh al-Islami bi al-Adillah, al-Zuhaili menginformasikan bahwa jumlah pemilik saham dalam perseroan terbatas yang terbuka adalah 50 syarik/pihak; criteria perseroan yang termasuk terbuka tidaklah seragam di berbagai negara.[5]
d.       Hukum Syirkah Muhasamah
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum syirkah musahamah. Pertama, ada ulama yang berpendapat bahwa syirkah musahamah tidak dibolehkan, karena terjadi pengalihan dari individu syarik ke dalam jumlah kepemilikan saham dalam hal menentukan arah perusahaan termasuk menentukan pihak pengelola/direksi dan/atau istilah lainnya yang berlaku di lembaga-lembaga bisnis. Jumlah syarik sebagai pemilik saham tidak dapat menentukan arah perusahaan yang berbasis syirkah musahamah; tetapi yang menentukan adalah pemegang saham mayoritas. Di samping itu, ulama yang tidak membolehkan dilakukannya akad syirkah musahamah berpendapat bahwa syirkah musahamah mengenyampingkan aspek ridha (rela); padahal aspek ridha adalah aspek penting dalam bersyirkah. Kedua, ada juga ulama yang berpendapat bahwa syirkah mushamah boleh (ja’iz) dilakukan selama (dengan syarat) kegiatan usaha yang dilakukannya tidak mencakup:
1)      Objek yang haram seperti khamr (minuman beralkohol) dan babi; dan
2)      Cara usaha yang diharamkan seperti usaha yang ribawi dan judi.
Perseroan terbatas dilihat dari sifatnya dibedakan menjadi dua: Perseroan Terbatas Tertutup, dan Perseroan Terbatas Terbuka (Tbk). Perseroan terbatas terbuka secara konseptual berhubunngan dengan syirkah mas’uliyah mahdudah; karena terdapat kriteria mengenai jumlah pemilik saham dari perseroan yang bersangkutan. Dalam kitab al-Fiqh al-Islami bi al-Adillah, al-Zuhaili menginformasikan bahwa jumlah pemilik saham dalam perseroan terbatas yang terbuka adalah 50 syarik/pihak; kriteria perseroan yang termasuk terbuka tidaklah seragam di berbagai negara. [6]
Pada prinsipnya, Islam tidak melarang umatnya untuk mencari harta dari mana pun. Tapi, harta tersebut haruslah halal dan thoyib. Maksudnya, cara mendapatkannya halal, tapi barang yang didapat tidak halal, berarti tidak baik. Begitu pun sebaliknya. Jadi harus semuanya bagus, baik cara mendapatkannya maupun barangnya. Dalam hal jual beli hukumnya boleh dan halal. Tapi bagaimana dengan hukum jual beli saham?
Para ahli fikih kontemporer sepakat, bahwa haram hukum jual beli saham di pasar modal dari perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang haram. Misalnya, perusahaan yang bergerak di bidang produksi minuman keras, bisnis babi dan apa saja yang terkait dengan babi, jasa keuangan konvensional seperti bank dan asuransi, dan industri hiburan, seperti kasino, perjudian, prostitusi, media porno, dan sebagainya. Dalil yang mengharamkan jual beli saham perusahaan seperti ini adalah semua dalil yang mengharamkan segala aktivitas tersebut.
Namun mereka berbeda pendapat jika saham yang diperdagangkan di pasar modal itu adalah dari perusahaan yang bergerak di bidang usaha halal, misalnya di bidang transportasi, telekomunikasi, produksi tekstil, dan sebagainya. Syahatah dan Fayyadh berkata,”Menanam saham dalam perusahaan seperti ini adalah boleh secara syar’i. Dalil yang menunjukkan kebolehannya adalah semua dalil yang menunjukkan bolehnya aktivitas tersebut.”
Tapi ada fukaha yang tetap mengharamkan hukum jual beli saham walau dari perusahaan yang bidang usahanya halal. Mereka ini misalnya Taqiyuddin an-Nabhani, Yusuf as-Sabatin dan Ali As-Salus Ketiganya sama-sama menyoroti bentuk badan usaha (PT) yang sesungguhnya tidak Islami. Jadi sebelum melihat bidang usaha perusahaannya, seharusnya yang dilihat lebih dulu adalah bentuk badan usahanya, apakah ia memenuhi syarat sebagai perusahaan Islami (syirkah Islamiyah) atau tidak.
Aspek inilah yang nampaknya betul-betul diabaikan oleh sebagian besar ahli fikih dan pakar ekonomi Islam saat ini, terbukti mereka tidak menyinggung sama sekali aspek krusial ini. Perhatian mereka lebih banyak terfokus pada identifikasi bidang usaha (halal/haram), dan berbagai mekanisme transaksi yang ada, seperti transaksi spot (kontan di tempat), transaksi option, transaksi trading on margin, dan sebagainya.
Taqiyuddin an-Nabhani dalam An-Nizham al-Iqtishadi (2004) menegaskan bahwa perseroan terbatas (PT, syirkah musahamah) adalah bentuk syirkah yang batil (tidak sah), karena bertentangan dengan hukum-hukum syirkah dalam Islam. Kebatilannya antara lain dikarenakan dalam PT tidak terdapat ijab dan kabul sebagaimana dalam akad syirkah.
Yang ada hanyalah transaksi sepihak dari para investor yang menyertakan modalnya dengan cara membeli saham dari perusahaan atau dari pihak lain di pasar modal, tanpa ada perundingan atau negosiasi apa pun baik dengan pihak perusahaan maupun persero (investor) lainnya. Tidak adanya ijab kabul dalam PT ini sangatlah fatal, sama fatalnya dengan pasangan laki-laki dan perempuan yang hanya mencatatkan pernikahan di Kantor Catatan Sipil, tanpa adanya ijab dan kabul secara syar’i.
Maka dari itu, pendapat kedua yang mengharamkan bisnis saham ini (walau bidang usahanya halal) adalah lebih kuat (rajih), karena lebih teliti dan jeli dalam memahami fakta, khususnya yang menyangkut bentuk badan usaha (PT). Apalagi, sandaran pihak pertama yang membolehkan bisnis saham asalkan bidang usaha perusahaannya halal, adalah dalil al-Mashalih Al-Mursalah, sebagaimana analisis Yusuf As-Sabatin. Padahal menurut Taqiyuddin An-Nabhani, al-Mashalih Al-Mursalah adalah sumber hukum yang lemah, karena kehujjahannya tidak dilandaskan pada dalil yang qath’i.
e.       Dampak Positif dan Negatif Jual Beli Saham
Sebenarnya, transaksi saham di pasar memiliki dampak positif, di samping dampak negatifnya yang lebih banyak. Beberapa dampak positif dari jual beli saham adalah sebagai berikut:
·         Membuka pasar tetap yang memudahkan penjual dan pembeli dalam melakukan transaksi.
·         Mempermudah pendanaan pabrik-pabrik, perdagangan dan proyek pemerintah melalui penjualan saham.
·         Mempermudah penjualan saham dan menggunakan nilainya.
·         Mempermudah mengetahui timbangan harga-harga saham dan barang-barang komoditi, melalui aktivitas permintaan dan penawaran.

Akan tetapi, dampak negatif yang ditimbulkan dari transaksi saham, terutama pada pasar sekunder jauh lebih besar seperti:
·         Transaksi berjangka dalam bursa saham ini sebagian besar bukan jual beli sebenarnya, yakni tidak adanya unsur serah terima sebagai syarat sah jual beli menurut hukum Islam.
·         Kebanyakan dari transaksi saham adalah penjualan sesuatu yang tidak dimiliki, baik berupa uang, saham, giro piutang dengan harapan akan dibeli di pasar sesungguhnya dan diserahkan pada saatnya nanti, tanpa mengambil uang pembayaran terlebih dahulu.
·         Pembeli dalam pasar ini kebanyakan membeli kembali barang yang dibelinya sebelum dia terima. Hal ini juga terjadi pada orang kedua, ketiga atau berikutnya secara berulang. Peran penjual dan pembeli selain yang pertama dan terakhir, hanya untuk mendapatkan keuntungan semata secara spekulasi (membeli dengan harga murah dan mengharapkan harga naik kemudian menjualnya kembali).
·         Penodal besar mudah memonopoli saham di pasaran agar bisa menekan penjual yang menjual barang-barang yang tidak mereka miliki dengan harga murah, sehingga penjualan lain kesulitan.
·         Pasar saham memilki pengaruh merugikan yang sangat luas. Harga-harga pada pasar ini tidak bersandar pada mekanisme pasar yan benar, tetapi oleh banyak hal yang lekat dengan kecurangan, seperti dilakukan oleh pemerhati pasar, monopoli barang dagangan dan kertas saham, atau dengan menyebarkan berita bohong dan sejenisnya.

f.       Hukum Jual Beli Saham
1)      Alasan Jual Beli Saham Haram
Suatu transaksi dianggap sah dalam Islam kalau ada akad. Bila pembelian saham hanya terjadi transaksi sepihak tanpa adanya akad dengan penjual langsung atau perusahaan yang bersangkutan, maka transaksi itu batal. Hal ini dikaitkan dengan sepasang laki-laki dan wanita yang akan menikah. Perbedaannya hanyalah pada akad nikah.
Tanpa adanya ijab dan kabul, maka pernikahan itu tidak sah. Jadi kalau mau menanamkan modal, harus ada perundingan atau negosiasi dengan perusahaan yang bersangkutan. Hal inilah yang membuat jual beli saham yang ada di bursa saham. menjadi haram walaupun jenis usahanya halal.
2)      Alasan Jual Beli Saham Halal
Perusahaan yang menjual sahamnya di bursa saham terutama di bursa saham Islam, telah menyerahkan penjualan sahamnya kepada bursa saham. Dalam hal ini pihak bursa saham menjadi ‘perwakilan’ dari perusahaan-perusahaan tersebut.
Dengan demikian, akad yang terjadi cukup dengan ‘perwakilan’ saja tidak harus berhubungan dengan perusahaan yang bersangkutan. Jadi, asalkan bidang usahanya halal, maka membeli sahamnya juga halal. Dengan kecanggihan teknologi, akad jual beli bisa dilakukan lebih sederhana dan cepat.
Hal ini pun merupakan ijtihad para ulama yang juga para pakar ekonomi kontemporer. Mengingat bahwa perkembangan zaman sudah sangat cepat, maka umat Islam pun harus berpacu, tapi dengan tidak mengabaikan tuntunan dan hukum Islam yang ada.[7]














C.    Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Syirkah musahamah adalah penyertaan modal usaha yang dihitung dengan jumlah lembar saham (bukan dengan nilai nominal) yang diperdagangkan di pasar modal sehingga pemiliknya dapat berganti-ganti dengan mudah dan cepat. Hukum Syirkah Muhasamah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, ada yang membolehkan, ada yang tidak membolehkan. Syirkah mushamah boleh (ja’iz) dilakukan selama (dengan syarat) kegiatan usaha yang dilakukannya tidak mencakup:
1)      Objek yang haram seperti khamr (minuman beralkohol) dan babi; dan
2)      Cara usaha yang diharamkan seperti usaha yang ribawi dan judi.
Dalam jual beli saham, terdapat dampak positif maupun dampak negatif, tetapi lebih banyak dampak negatif daripada dampak positifnya. Hal itu menyebabkan alasan dalam menentukan hukum jual beli saham itu sendiri.












Daftar Pustaka

Syafe’i, Rachmat. Fiqih Muamalat. Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Hasanudin, Maulana & Mubarok, Jaih. Perkembangan Akad Musyarakah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.
.http://www.anneahira.com/hukum-jual-beli-saham.html



[1] Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalat, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 183-185
[2] Maulana Hasanudin & Jaih Mubarok, Perkembangan Akad Musyarakah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 69
[3] Ibid , hlm. 70
[4] Ibid, hlm. 145
[5] Ibid, hlm. 147-148
[6] Ibid, hlm. 171

[7] http://www.anneahira.com/hukum-jual-beli-saham.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar