Syirkah Musahamah
A. Latar
Belakang
Seiring berkembangnya zaman,
masyarakat mulai menyadari bahwasannya mereka membutuhkan jalan terbaik dalam
sistem perekonomian. Segala jenis produk yang ada dipasar merupakan aplikasi
dari kapitalisme, yang secara tidak langsung akan mengkhawatirkan kaum lemah yang
tidak memiliki kekayaan maupun kekuasaan.
Pada awal abad 18, mulai lah
banyak pemikiran mengenai sistem ekonomi islam yang dianggap sebagai salah satu
solusi terbaik untuk diterapkan. Segala jenis produk syariah mulai banyak
dipertimbangkan dan dibanding-bandingkan dengan sistem yang konvensional.
Maka dari
itu, segala jenis bidang mulai diarahkan sesuai ajaran Islam, tak lain kami
akan membahas salah satu syirkah yang belum banyak terpublikasi, padahal
syirkah ini memiliki peranan penting dalam investasi (saham), yaitu syirkah
musahamah. Bagaimana
kita dapat bekerja sama sesuai ajaran Islam dan mengaplikasikan dalam kehidupan.
B. Pembahasan
a. Syirkah Secara Umum
Secara etimologi,
syirkah atau perkongsian berarti:
اَلْإِخْتِلاَطُ
أَىْ خَلْطُ أَحَدِالْمَالَيْنِ بِا لْاخَرِبِحَيْثُ لاَ يَمَتْزَانِ عَنْ بَعْضِهِمَا.
Artinya:
”Percampuran, yakni
bercampurnya salah satu dari dua harta dengan harta lainnya, tanpa dapat
dibedakan antara keduanya.”
Menurut terminologi,
ulama fiqh beragam pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain:
-
Menurut
Malikiyah
هِيَ اِذَنْ
فِى التَّصَرُّفِ لَهُمَا مَعًا اَنْفُسُهُمَا اَيْ أَنْ يَأْذَنَ كُلُّ وَاحِدٍ
مِنَ الشَّرِيْكَيْنِ لِصَاحِبِهِ فِى أَنْ يَتَصَّرَفَ فِى مَالٍ لَهُمَا مَعَ
إِبْقَاءِ حَقِّ التَّصَرُّفِ لِكُلٍّ مِنْهُمَا.
Artinya:
“Perkongsian adalah
izin untuk mendayagunakan (tasharruf) harta yang dimiliki dua orang secara
bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan kepada salah
satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun masing-masing memiliki
hak untuk bertasharruf.”
-
Menurut
Hanabilah
اَلْإِجْتِمَاعُ
فِى اِسْتِقَاقٍ أَوْتَصَرُّفٍ.
Artinya:
“perhimpunan adalah
hak (kewenangan) atau pengolahan harta (tasharruf).”
-
Menurut
Syafi’iyah
ثُبُوْتُ
الْحَقِّ فِى شَىْءٍ لاِثْنَيْنِ فَاَكْثَرَعَلَى جِهَةِالشُّيُوْعِ.
Artinya:
“ketetapan hak pada
sesuatu yang dimiliki dua orang atau lebih dengan cara yang masyhur (diketahui).”
-
Menurut
Hanafiyah
عِبَارَةٌ
عَنْ عَقْدٍبَيْنَ الْمُتَشَارِكَيْنِ فِى رَأْسِ الْمَالِ وَالرِّبْحِ.
Artinya:
“Ungkapan tentang
adanya transaksi (akad) antara dua orang yang bersekutu pada pokok harta dan
keuntungan.”[1]
Secara garis besar, syirkah adalah kerjasama antara dua
orang atau lebih dalam sebuah usaha dengan konsekuensi keuntungan dan
kerugiannya ditanggung secara bersama.
Rukun syirkah adalah sesuatu yang harus ada ketika
syirkah itu berlangsung. Menurut ulama Hanafiah, rukun syirkah hanya ijab dan
qabul atau serah terima. Sedangkan orang yang berakad dan obyek akad bukan
termasuk rukun, tapi syarat. Menurut jumhur ulama, rukun syirkah meliputi
shighat (lafaz) ijab dan qabul, kedua orang yang berakad, dan obyek akad.
Syarat umum syirkah, antara lain:
1. Syirkah itu merupakan transaksi yang boleh diwakilkan,
artinya salah satu pihak jika bertindak hukum terhadap obyek syirkah itu,
dengan izin pihak lain, dianggap sebagai wakil seluruh pihak yang berserikat.
Juga, anggota serikat saling mempercayai.
2. Prosentase pembagian keuntungan untuk masing-masing pihak
yang berserikat dijelaskan ketika akad berlangsung.
3. Keuntungan diambil dari hasil laba harta perserikatan,
bukan dari harta lain.
b. Pengertian Syirkah Musahamah
Syirkah musahamah adalah
penyertaan modal usaha yang dihitung dengan jumlah lembar saham (bukan dengan
nilai nominal) yang diperdagangkan di pasar modal sehingga pemiliknya dapat
berganti-ganti dengan mudah dan cepat.[2]
Syirkah musahamah bermanfaat bagi pengembangan bisnis karena saham disebar
dalam jumlah yang besar; modal syarik tidak berubah karena keluarnya pemegang
saham lama (dengan cara jual dijual) atau masuknya pemegang saham baru (dengan
cara membeli).
Dapat dikatakan pula bahwa syirkah musahamah adalah Akad (kontrak) dua
orang atau lebih yang masing-masing terikat untuk berkontribusi dalam proyek
bisnis dengan menyetor bagian harta (modal), untuk berbagi keuntungan dan
kerugian yang muncul dari proyek itu.
Saham merupakan bukti kepemilikan
(ekuitas). Membeli saham berarti memiliki sebagian dari perusahaan, artinya
Anda juga berbagi risiko dengan emiten (penerbit saham). Bila emiten mendapat
laba, sebagian akan dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk dividen.
Menerbitkan saham, di samping saham yang sudah dimiliki oleh perusahaan
sebelumnya, merupakan salah satu pilihan perusahaan ketika memutuskan dalam hal
pendanaan perusahaan.
Tujuan umum dari syirkah adalah
untuk menciptakan kesejahteraan pelakunya, sedangkan tujuan dari syirkah
musahamah dilakukan guna menciptakan kesejahteraan umum (bukan hanya
pebisnisnya).[3]
c. Perseroan Terbatas (PT)
Perseroan Terbatas yaitu persekutuan untuk menjalankan
perusahaan yang mempunyai modal usaha yang terbagi atas beberapa saham, setiap
sekutu turut mengambil bagian sebanyak satu saham atau lebih.
“Pasal 1 ayat
(1) UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan: Perseroan Terbatas (PT), yang selanjutnya
disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal,
didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar
yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan
dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.”
Ciri-ciri PT diantaranya yaitu :
1. Para pemegang saham
bertanggungjawab terbatas terhadap utang-utang perusahaan sebesar modal yang
disertakan.
2. Kekayaan PT terpisah dari kekayaan
pribadi masing-masing pemegang saham.
3. Pemegang saham berhak mendapatkan
dividen apabila perusahaan mendapatkan keuntungan , dan
4. Perusahaan yang berbadan hukum PT
didirikan dengan akta notaris yang antara lain membuat nama PT dan modal.
Jenis-jenis PT dibedakan menjadi
empat bagian yaitu :
1. PT Tertutup yaitu PT yang
saham-sahamnya hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu
2. PT Terbuka yaitu PT yang
saham-sahamnya dimiliki oleh setiap orang
3. PT Kosong yaitu PT yang sudah
tidak lagi menjalankan kegiatannya, tinggal namanya saja
4. PT Asing yaitu PT yang didirikan
di Negara lain yang berkedudukan di Negara tersebutdan tunduk pada hukum
Negara.[4]
Pendirian perseroan terbatas
seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, dalam hubungannya dengan syirkah terlihat bahwa:
1) Perseroan didirikan dua orang atau
lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam Bahasa Indonesia; dan
2) Setiap pendiri perseroan wajib
mengambil bagian saham pada saat perseroan didirikan.
Perseroan terbatas dari segi konsep syirkah yang
kontemporer disebut syirkah musahamah; yaitu kerja sama antara dua pihak atau
lebih guna melakukan usaha untuk memperoleh keuntungan yang modalnya
dinyatakan/dinilai dalam bentuk saham (bukan dengan nilai nominal) yang
diperdagangkan di pasar modal; pertanggungjawaban pemegang saham sesuai dengan
jumlah yang dimiliki; keuntungan dan kerugian yang diterima oleh pemegang saham
sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki. Perseroan terbatas termasuk subjek
hukum yang di dalamnya terdapat investor (pemodal), komisaris yang mewakili
kepentingan investor, masyarakat dan pihak otoritas; pengurus dan pegawai.
Syirkah musahamah dari sudut praktik memberlakukan dua
akad karena menyangkut banyak pihak. Bagi sesama investor berlaku akad syirkah;
bagi komisaris dan pengurus berlaku akad ijarah yang besar ujrahnya ditetapkan
dalam RUPS; sedangkan bagi pegawai juga berlaku akad ijarah yang besar ujrahnya
ditetapkan oleh pengurus.
Perseroan terbatas dilihat dari sifatnya dibedakan
menjadi dua: Perseroan Terbatas Tertutup, dan Perseroan Terbatas Terbuka (Tbk).
Perseroan terbatas terbuka secara konseptual berhubunngan dengan syirkah
mas’uliyah mahdudah; karena terdapat criteria mengenai jumlah pemilik saham
dari perseroan yang bersangkutan. Dalam kitab al-Fiqh al-Islami bi al-Adillah,
al-Zuhaili menginformasikan bahwa jumlah pemilik saham dalam perseroan terbatas
yang terbuka adalah 50 syarik/pihak; criteria perseroan yang termasuk terbuka
tidaklah seragam di berbagai negara.[5]
d. Hukum Syirkah Muhasamah
Ulama berbeda pendapat mengenai
hukum syirkah musahamah. Pertama, ada ulama yang berpendapat bahwa
syirkah musahamah tidak dibolehkan, karena terjadi pengalihan dari individu
syarik ke dalam jumlah kepemilikan saham dalam hal menentukan arah perusahaan
termasuk menentukan pihak pengelola/direksi dan/atau istilah lainnya yang
berlaku di lembaga-lembaga bisnis. Jumlah syarik sebagai pemilik saham tidak
dapat menentukan arah perusahaan yang berbasis syirkah musahamah; tetapi yang
menentukan adalah pemegang saham mayoritas. Di samping itu, ulama yang tidak
membolehkan dilakukannya akad syirkah musahamah berpendapat bahwa syirkah
musahamah mengenyampingkan aspek ridha (rela); padahal aspek ridha adalah aspek
penting dalam bersyirkah. Kedua, ada juga ulama yang berpendapat bahwa
syirkah mushamah boleh (ja’iz) dilakukan selama (dengan syarat) kegiatan usaha
yang dilakukannya tidak mencakup:
1) Objek yang haram seperti khamr
(minuman beralkohol) dan babi; dan
2) Cara usaha yang diharamkan seperti
usaha yang ribawi dan judi.
Perseroan terbatas dilihat dari sifatnya dibedakan
menjadi dua: Perseroan Terbatas Tertutup, dan Perseroan Terbatas Terbuka (Tbk).
Perseroan terbatas terbuka secara konseptual berhubunngan dengan syirkah
mas’uliyah mahdudah; karena terdapat kriteria mengenai jumlah pemilik saham
dari perseroan yang bersangkutan. Dalam kitab al-Fiqh al-Islami bi al-Adillah,
al-Zuhaili menginformasikan bahwa jumlah pemilik saham dalam perseroan terbatas
yang terbuka adalah 50 syarik/pihak; kriteria perseroan yang termasuk terbuka
tidaklah seragam di berbagai negara. [6]
Pada
prinsipnya, Islam tidak melarang umatnya untuk mencari harta dari
mana pun. Tapi, harta tersebut haruslah halal dan thoyib. Maksudnya, cara
mendapatkannya halal, tapi barang yang didapat tidak halal, berarti tidak baik.
Begitu pun sebaliknya. Jadi harus semuanya bagus, baik cara mendapatkannya
maupun barangnya. Dalam hal jual beli hukumnya boleh dan halal. Tapi bagaimana
dengan hukum jual beli saham?
Para ahli
fikih kontemporer sepakat, bahwa haram hukum jual beli saham di pasar modal
dari perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang haram. Misalnya, perusahaan
yang bergerak di bidang produksi minuman keras, bisnis babi dan apa saja yang
terkait dengan babi, jasa keuangan konvensional seperti bank dan asuransi, dan
industri hiburan, seperti kasino, perjudian, prostitusi, media porno, dan
sebagainya. Dalil yang mengharamkan jual beli saham perusahaan seperti ini
adalah semua dalil yang mengharamkan segala aktivitas tersebut.
Namun mereka
berbeda pendapat jika saham yang diperdagangkan di pasar modal itu adalah dari
perusahaan yang bergerak di bidang usaha halal, misalnya di bidang
transportasi, telekomunikasi, produksi tekstil, dan sebagainya. Syahatah dan
Fayyadh berkata,”Menanam saham dalam perusahaan seperti ini adalah boleh secara
syar’i. Dalil yang menunjukkan kebolehannya adalah semua dalil
yang menunjukkan bolehnya aktivitas tersebut.”
Tapi ada
fukaha yang tetap mengharamkan hukum jual beli saham walau dari perusahaan yang
bidang usahanya halal. Mereka ini misalnya Taqiyuddin an-Nabhani, Yusuf
as-Sabatin dan Ali As-Salus Ketiganya sama-sama menyoroti bentuk badan usaha
(PT) yang sesungguhnya tidak Islami. Jadi sebelum melihat bidang usaha
perusahaannya, seharusnya yang dilihat lebih dulu adalah bentuk badan usahanya,
apakah ia memenuhi syarat sebagai perusahaan Islami (syirkah Islamiyah) atau
tidak.
Aspek inilah
yang nampaknya betul-betul diabaikan oleh sebagian besar ahli fikih dan pakar
ekonomi Islam saat ini, terbukti mereka tidak menyinggung sama sekali aspek
krusial ini. Perhatian mereka lebih banyak terfokus pada identifikasi bidang
usaha (halal/haram), dan berbagai mekanisme transaksi yang ada, seperti
transaksi spot (kontan di tempat), transaksi option, transaksi trading on
margin, dan sebagainya.
Taqiyuddin an-Nabhani dalam An-Nizham al-Iqtishadi (2004) menegaskan bahwa
perseroan terbatas (PT, syirkah musahamah) adalah bentuk syirkah yang batil
(tidak sah), karena bertentangan dengan hukum-hukum syirkah dalam Islam. Kebatilannya antara lain dikarenakan dalam PT tidak
terdapat ijab dan kabul sebagaimana dalam akad syirkah.
Yang ada
hanyalah transaksi sepihak dari para investor yang menyertakan modalnya dengan
cara membeli saham dari perusahaan atau dari pihak lain di pasar modal, tanpa
ada perundingan atau negosiasi apa pun baik dengan pihak perusahaan maupun persero
(investor) lainnya. Tidak adanya ijab kabul dalam PT ini sangatlah fatal, sama
fatalnya dengan pasangan laki-laki dan perempuan yang hanya mencatatkan pernikahan
di Kantor Catatan Sipil, tanpa adanya ijab dan kabul secara syar’i.
Maka dari itu, pendapat kedua yang mengharamkan bisnis saham ini (walau
bidang usahanya halal) adalah lebih kuat (rajih), karena lebih teliti dan jeli
dalam memahami fakta, khususnya yang menyangkut bentuk badan usaha (PT). Apalagi, sandaran pihak pertama yang membolehkan bisnis
saham asalkan bidang usaha perusahaannya halal, adalah dalil al-Mashalih
Al-Mursalah, sebagaimana analisis Yusuf As-Sabatin. Padahal menurut Taqiyuddin
An-Nabhani, al-Mashalih Al-Mursalah adalah sumber hukum yang lemah, karena
kehujjahannya tidak dilandaskan pada dalil yang qath’i.
e.
Dampak Positif
dan Negatif Jual Beli Saham
Sebenarnya, transaksi saham di pasar memiliki
dampak positif, di samping dampak negatifnya yang lebih banyak. Beberapa
dampak positif dari jual beli saham adalah sebagai berikut:
·
Membuka pasar
tetap yang memudahkan penjual dan pembeli dalam melakukan transaksi.
·
Mempermudah
pendanaan pabrik-pabrik, perdagangan dan proyek pemerintah melalui penjualan
saham.
·
Mempermudah
penjualan saham dan menggunakan nilainya.
·
Mempermudah
mengetahui timbangan harga-harga saham dan barang-barang komoditi, melalui
aktivitas permintaan dan penawaran.
Akan tetapi, dampak negatif yang ditimbulkan dari transaksi
saham, terutama pada pasar sekunder jauh lebih besar seperti:
·
Transaksi
berjangka dalam bursa saham ini sebagian besar bukan jual beli sebenarnya,
yakni tidak adanya unsur serah terima sebagai syarat sah jual beli menurut
hukum Islam.
·
Kebanyakan dari
transaksi saham adalah penjualan sesuatu yang tidak dimiliki, baik berupa uang,
saham, giro piutang dengan harapan akan dibeli di pasar sesungguhnya dan
diserahkan pada saatnya nanti, tanpa mengambil uang pembayaran terlebih dahulu.
·
Pembeli dalam
pasar ini kebanyakan membeli kembali barang yang dibelinya sebelum dia terima.
Hal ini juga terjadi pada orang kedua, ketiga atau berikutnya secara berulang.
Peran penjual dan pembeli selain yang pertama dan terakhir, hanya untuk
mendapatkan keuntungan semata secara spekulasi (membeli dengan harga murah dan
mengharapkan harga naik kemudian menjualnya kembali).
·
Penodal besar
mudah memonopoli saham di pasaran agar bisa menekan penjual yang menjual
barang-barang yang tidak mereka miliki dengan harga murah, sehingga penjualan
lain kesulitan.
·
Pasar saham
memilki pengaruh merugikan yang sangat luas. Harga-harga pada pasar ini tidak
bersandar pada mekanisme pasar yan benar, tetapi oleh banyak hal yang lekat
dengan kecurangan, seperti dilakukan oleh pemerhati pasar, monopoli barang
dagangan dan kertas saham, atau dengan menyebarkan berita bohong dan
sejenisnya.
f. Hukum Jual Beli Saham
1) Alasan Jual Beli Saham Haram
Suatu transaksi dianggap sah dalam Islam kalau ada akad.
Bila pembelian saham hanya terjadi transaksi sepihak tanpa adanya akad dengan
penjual langsung atau perusahaan yang bersangkutan, maka transaksi itu batal.
Hal ini dikaitkan dengan sepasang laki-laki dan wanita yang akan menikah.
Perbedaannya hanyalah pada akad nikah.
Tanpa adanya ijab dan kabul, maka pernikahan itu tidak
sah. Jadi kalau mau menanamkan modal, harus ada perundingan atau negosiasi
dengan perusahaan yang bersangkutan. Hal inilah yang membuat jual beli saham
yang ada di bursa saham. menjadi haram walaupun jenis usahanya halal.
2) Alasan Jual Beli Saham Halal
Perusahaan yang menjual sahamnya di bursa saham terutama
di bursa saham Islam, telah menyerahkan penjualan sahamnya kepada bursa saham.
Dalam hal ini pihak bursa saham menjadi ‘perwakilan’ dari perusahaan-perusahaan
tersebut.
Dengan demikian, akad yang terjadi cukup dengan
‘perwakilan’ saja tidak harus berhubungan dengan perusahaan yang bersangkutan.
Jadi, asalkan bidang usahanya halal, maka membeli sahamnya juga halal. Dengan
kecanggihan teknologi, akad jual beli bisa dilakukan lebih sederhana dan cepat.
Hal ini pun merupakan ijtihad para ulama yang juga para
pakar ekonomi kontemporer. Mengingat bahwa perkembangan zaman sudah sangat
cepat, maka umat Islam pun harus berpacu, tapi dengan tidak mengabaikan
tuntunan dan hukum Islam yang ada.[7]
C.
Kesimpulan
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Syirkah musahamah adalah penyertaan
modal usaha yang dihitung dengan jumlah lembar saham (bukan dengan nilai
nominal) yang diperdagangkan di pasar modal sehingga pemiliknya dapat berganti-ganti
dengan mudah dan cepat. Hukum Syirkah Muhasamah terjadi
perbedaan pendapat di kalangan ulama, ada yang membolehkan, ada yang tidak
membolehkan. Syirkah
mushamah boleh (ja’iz) dilakukan selama (dengan syarat) kegiatan usaha yang
dilakukannya tidak mencakup:
1) Objek yang haram seperti khamr
(minuman beralkohol) dan babi; dan
2) Cara usaha yang diharamkan seperti
usaha yang ribawi dan judi.
Dalam jual beli saham, terdapat
dampak positif maupun dampak negatif, tetapi lebih banyak dampak negatif daripada
dampak positifnya. Hal itu menyebabkan alasan dalam menentukan hukum jual beli
saham itu sendiri.
Daftar Pustaka
Syafe’i, Rachmat. Fiqih Muamalat. Bandung: Pustaka
Setia, 2001.
Hasanudin, Maulana
& Mubarok, Jaih. Perkembangan
Akad Musyarakah. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2012.
.http://www.anneahira.com/hukum-jual-beli-saham.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar