Sejarah Pengelolaan Wakaf
Wakaf merupakan salah satu ibadah
kebendaan yang penting yang secara ekplisit tidak memiliki rujukan dalam kitab
suci Al-Quran. Oleh karena itu, ulama telah melakukan identifikasi untuk
mencari “induk kata” sebagai sandaran hukum. Hasil identifikasi mereka juga
akhirnya melahirkan ragam nomenklatur wakaf yang dijelaskan pada bagian
berikut.
Wakaf adalah institusi sosial Islami
yang tidak memiliki rujukan yang eksplisit dalam al-Quran dan sunah. Ulama
berpendapat bahwa perintah wakaf merupakan bagian dari perintah untuk
melakukan al-khayr (secara harfiah berarti kebaikan). Dasarnya
adalah firman Allah berikut :
B.
وافعلوا الخير لعلكم
تفلحون
...dan berbuatlah kebajikan agar kamu memperoleh kemenangan”[1]
Dalam ayat tentang wasiat, kata al-khayr diartikan
dengan harta benda. Oleh karena itu, perintah melakukan al-khayr berarti
perintah untuk melakukan ibadah bendawi. Dengan demikian, wakaf sebagai konsep
ibadah kebendaan berakar pada al-khayr. Allah memerintahkan
manusia untuk mengerjakannya.
pengertian wakaf menurut UUD No 41 Tahun
2004 tentang Wakaf pasal 1 : “ Wakaf
adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian
harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu
tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah”.[2]
1.
Wakaf Pada Zaman Rasulullah
Dalam sejarah Islam, Wakaf dikenal sejak
masa Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan setelah nabi SAW di Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua
pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha’) tentang
siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat
ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW
ialah wakaf tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid.
Pendapat ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata:
Dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa’ad bin Muad berkata: “Kami
bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah
wakaf Umar, sedangkan orang-orang Ansor mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW."
(Asy-Syaukani: 129).
Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah
pernah mewakafkan ketujuh kebun kurma di Madinah; diantaranya ialah kebon
A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebon lainnya. Menurut pendapat sebagian
ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan Syariat Wakaf adalah Umar
bin Khatab. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra, ia
berkata: Dari Ibnu Umar ra, berkata : “Bahwa sahabat Umar ra, memperoleh
sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra, menghadap Rasulullah SAW untuk
meminta petunjuk, Umar berkata : “Hai Rasulullah SAW., saya mendapat sebidang
tanah di Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau
perintahkan kepadaku?”
Rasulullah SAW. bersabda: “Bila engkau
suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya), tidak
dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar
menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-rang fakir, kaum
kerabat, hamba sahaya, sabilillah, Ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi
yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik
(sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk
harta” (HR.Muslim).
2.
Pada masa dinasti Umayyah
Pada masa dinasti Umayyah yang menjadi
hakim Mesir adalah Taubah bin Ghar Al-Hadhramiy pada masa khalifah Hisyam bin
Abd. Malik. Ia sangat perhatian dan tertarik dengan pengembangan wakaf sehingga
terbentuk lembaga wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya dibawah
pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam
administrasi wakaf di Mesir, bahkan diseluruh negara Islam. Pada saat itu juga,
Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan
lembaga wakaf di bawah Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan
hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan yang membutuhkan.
3.
Pada masa dinasti Abbasiyah
Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat
lembaga wakaf yang disebut dengan “shadr al-Wuquuf” yang mengurus administrasi
dan memilih staf pengelola lembaga wakaf. Demikian perkembangan wakaf pada masa
dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat,
sehingga lembaga wakaf berkembang searah dengan pengaturan administrasinya.
4.
Pada masa dinasti Ayyubiyah
Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir
perkembangan wakaf cukup menggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah
pertanian menjadi harta wakaf dan semua dikelola oleh negara dan menjadi milik
negara (baitul mal). Ketika Shalahuddin Al-Ayyuby memerintah Mesir, maka ia
bermaksud mewakafkan tanah-tanah milik negara diserahkan kepada yayasan
keagamaan dan yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti Fathimiyah
sebelumnnya, meskipun secara fiqh Islam hukum mewakafkan harta baitulmal masih
berbeda pendapat di antara para ulama.
Pertama kali orang yang mewakafkan tanah
milik nagara (baitul mal) kepada yayasan dan sosial adalah Raja Nuruddin
Asy-Skyahid dengan ketegasan fatwa yang dekeluarkan oleh seorang ulama pada
masa itu ialah Ibnu “Ishrun dan didukung oleh pada ulama lainnya bahwa
mewakafkan harta milik negara hukumnya boleh (jawaz), dengan argumentasi (dalil)
memelihara dan menjaga kekayaan negara. Sebab harta yang menjadi milik negara
pada dasarnya tidak boleh diwakafkan. Shalahuddin Al-Ayyubi banyak mewakafkan
lahan milik negara untuk kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa
(qaryah) untuk pengembangan madrasah mazhab asy-Syafi’iyah, madrasah
al-Malikiyah dan madrasah mazhab al-Hanafiyah dengan dana melalui model
mewakafkan kebun dan lahan pertanian, seperti pembangunan madrasah mazhab
Syafi’iy di samping kuburan Imam Syafi’I dengan cara mewakafkan kebun pertanian
dan pulau al-Fil.
Dalam rangka mensejahterakan ulama dan
kepentingan misi mazhab Sunni Shalahuddin al-Ayyuby menetapkan kebijakan (1178
M/572 H) bahwa bagi orang Kristen yang datang dari Iskandar untuk berdagang
wajib membayar bea cukai. Hasilnya dikumpulkan dan diwakafkan kepada para ahli
yurisprudensi (fuqahaa’) dan para keturunannya. Wakaf telah menjadi sarana bagi
dinasti al-Ayyubiyah untuk kepentingan politiknya dan misi alirannya ialah
mazhab Sunni dan mempertahankan kekuasaannya. Dimana harta milik negara (baitul
mal) menjadi modal untuk diwakafkan demi pengembangan mazhab Sunni dan
menggusus mazhab Syi’ah yang dibawa oleh dinasti sebelumnya, ialah dinasti
Fathimiyah.
5.
Pada Masa Dinasti Mamluk
Perkembangan wakaf pada masa dinasti sangat
pesat dan beraneka ragam, sehingga apapun yang dapat diambil manfaatnya boleh
diwakafkan. Akan tetapi paling banyak yang diwakafkan pada masa itu adalah
tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung perkantoran, penginapan dan tempat
belajar. Pada masa Mamluk terdapat wakaf hamba sahaya yang di wakafkan budak
untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali oleh
pengusa dinasti Ustmani ketika menaklukan Mesir, Sulaiman Basya yang mewakafkan
budaknya untuk merawat mesjid.
Manfaat wakaf pada masa dinasti Mamluk
digunakan sebagaimana tujuan wakaf, seperti wakaf keluarga untuk kepentingan
keluarga, wakaf umum untuk kepentingan sosial, membangun tempat untuk
memandikan mayat dan untuk membantu orang-orang fakir dan miskin. Yang lebih membawa
syiar islam adalah wakaf untuk sarana Harmain, ialah Mekkah dan Madinah,
seperti kain ka’bah (kiswatul ka’bah). Sebagaimana yang dilakukan oleh Raja
Shaleh bin al-Nasir yang membrli desa Bisus lalu diwakafkan untuk membiayai
kiswah Ka’bah setiap tahunnya dan mengganti kain kuburan Nabi SAW dan mimbarnya
setiap lima tahun sekali.
Perkembangan berikutnya yang dirasa
manfaat wakaf telah menjadi tulang punggung dalam roda ekonomi pada masa
dinasti Mamluk mendapat perhatian khusus pada masa itu meski tidak diketahui
secara pasti awal mula disahkannya undang-undang wakaf. Namun menurut berita
dan berkas yang terhimpun bahwa perundang-undangan wakaf pada dinasti Mamluk
dimulai sejak Raja al-Dzahir Bibers al-Bandaq (1260-1277 M/658-676) H) di mana
dengan undang-undang tersebut Raja al-Dzahir memilih hakim dari masing-masing
empat mazhab Sunni.
6.
Pada orde al-Dzahir Bibers
Pada orde al-Dzahir Bibers perwakafan
dapat dibagi menjadi tiga katagori: Pendapat negara hasil wakaf yang diberikan
oleh penguasa kepada orang-orang yanbg dianggap berjasa, wakaf untuk membantu
haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah) dan kepentingan masyarakat umum. Sejak
abad lima belas, kerajaan Turki Utsmani dapat memperluas wilayah kekuasaannya,
sehingga Turki dapat menguasai sebagian besar wilayah negara Arab. Kekuasaan
politik yang diraih oleh dinasti Utsmani secara otomatis mempermudah untuk
merapkan Syari’at Islam, diantaranya ialah peraturan tentang perwakafan.
Di antara undang-undang yang dikeluarkan
pada dinasti Utsmani ialah peraturan tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang
dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280 Hijriyah. Undang-undang
tersebut mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan
wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi
wakaf dari sisi administrasi dan perundang-udangan.
Pada tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan
undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki
Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari implementasi
undang-undang tersebut di negara-negara Arab masih banyak tanah yang berstatus
wakaf dan diperaktekkan sampai saat sekarang. Sejak masa Rasulullah, masa
kekhalifahan dan masa dinasti-dinasti Islam sampai sekarang wakaf masih
dilaksanakan dari waktu ke waktu di seluruh negeri muslim, termasuk di
Indonesia.
Hal ini terlihat dari kenyataan
bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini telah diterima
(diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Disamping itu suatu
kenyataan pula bahwa di Indonesia terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf benda
bergerak atau benda tak bergerak. Kalau kita perhatikan di negara-negara muslim
lain, wakaf mendapat perhatian yang cukup sehingga wakaf menjadi amal sosial
yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat banyak.
Dalam perjalanan sejarah wakaf terus
berkembang dan akan selalu berkembang bersamaan dengan laju perubahan jaman
dengan berbagai inovasi-inovasi yang relevan, seperti bentuk wakaf uang, wakaf
Hak Kekayaan Intelektual (Haki), dan lain-lain. Di Indonesia sendiri, saat ini
wakaf kian mendapat perhatian yang cukup serius dengan diterbitkannya
Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang
pelaksanaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar