Jumat, 15 April 2016


“Pengertian Wakaf, Dasar Hukum Wakaf, Rukun Wakaf, Syarat Wakaf dan Nadzir”
 \

Zahratun Nihayah
(1113-046000-024)
Al Arif Billah
(1113-046000-083)



       Wakaf merupakan salah satu ibadah kebendaan yang penting yang secara ekplisit tidak memiliki rujukan dalam kitab suci Al-Quran. Oleh karena itu, ulama telah melakukan identifikasi untuk mencari “induk kata” sebagai sandaran hukum. Hasil identifikasi mereka juga akhirnya melahirkan ragam nomenklatur wakaf yang dijelaskan pada bagian berikut.
       Wakaf adalah institusi sosial Islami yang tidak memiliki rujukan yang eksplisit dalam al-Quran dan sunah. Ulama berpendapat bahwa perintah wakaf merupakan bagian dari perintah untuk melakukan al-khayr (secara harfiah berarti kebaikan). Dasarnya adalah firman Allah berikut :
وافعلوا الخير لعلكم تفلحون
...dan berbuatlah kebajikan agar kamu memperoleh kemenangan”[1]

Dalam ayat tentang wasiat, kata al-khayr diartikan dengan harta benda. Oleh karena itu, perintah melakukan al-khayr berarti perintah untuk melakukan ibadah bendawi. Dengan demikian, wakaf sebagai konsep ibadah kebendaan berakar pada al-khayr. Allah memerintahkan manusia untuk mengerjakannya.
A.       Pengertian Wakaf

       Kata Wakaf atau Waqf, berasal dari bahasa Arab “Waqafa”. Asal kata Waqafa berarti menahan, berhenti, diam ditempat, atau tetap berdiri. Kata “Waqafa-Yaqifu-Waqafan” sama artinya dengan “Habasa-Yahbisu-Tahbisan”.[2] Sedangkan pengertian wakaf menurut UUD No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf  pasal 1 : “ Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah”.[3]
            Menurut syara’ wakaf berarti menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah.[4] Amalan wakaf sangatlah besar artinya bagi kehidupan sosial ekonomi, kebudayaan dan keagamaan. Oleh karena itu Islam meletakan amalan wakaf sebagai salah satu macam ibadah yang sangat menggembirakan.[5]
            Sejak datangnya agama Islam di Indonesia abad ke 7 Masehi, perwakafan tanah telah ada dan berlaku dalam masyarakat Indonesia berdasarkan hukum Islam dan hukum adat, walaupun belum adanya peraturan secara tertulis.[6]  Biasanya wakaf berupa properti seperti masjid, tanah, bangunan, sekolah atau pondok pesantren, dan lainnya. Sementara sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat  saat ini, mereka membutuhkan dana tunai untuk meningkatkan kesejahteraan. Berdasarkan prinsip wakaf tersebut dibuatlah inovasi produk wakaf yaitu wakaf tunai, yakni wakaf yang tidak hanya berupa properti tetapi dengan dana (uang) secara tunai.[7] Dengan demikian, pengertian wakaf dapat dilihat secara lebih luas baik pemanfaatan maupun pengelolaan.
B.      Dasar Hukum Wakaf

Secara eksplisit tidak ditemukan ayat al-Quran yang mengatur tentang wakaf, namun secara implisit cukup banyak ayat-ayat yang  bisa jadi dasar hukum tentang wakaf, yaitu beberapa ayat   tetang infak diantaranya :

1.       Qur’an : al Hajj :  77

“Wahai orang-orang yang beriman! Rukuklah, sujudlah, dan sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebaikan agar kamu beruntung.”
2.       Qur’an : al Baqarah : 261

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir: seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
3.       Qur’an  Ali Imran : 92

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya."

       Kutipan Al-Quran surat AlI Imran: 92 jelas dipaparkan bahwa menafkahkan harta yang kita cintai merupakan salah satu jalan sekaligus syarat untuk menyempurnakan semua kebajikan lain yang sudah, sedang, dan akan kita lakukan. Bisa jadi seseorang telah banyak berbuat baik. Tampaknya  dengan menafkahkan sebagian hak milik yang sangat dicintai untuk perjuangan di jalan Allah, barulah akan sampai kepada kebajikan/keshalehan yang sempurna.
      
     Pemahaman konteks atas ajaran wakaf juga diambilkan dari beberapa hadits Nabi yang menyinggung masalah shadaqah jariyah, yaitu :

عن ابى هريرة  ان رسول الله صلى عليه و سلم قال : ادا مات ابن ادم انقطع عمله الا من ثلث صدقة جارية  او علم ينتفع به او ولد صالح يدعوله  (رواه مسلم )

Dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda : “Apabila anak Adam (manusia meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara:
Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakan orang tuanya”. (HR. Muslim)

Penafsiran shadaqah jariyah dalam hadits tersebut dikataakan asuk dalam pemebahasan wakaf, seperti yang diuangkapkan seorang Imam
دكره باب الوقف لانه فسر العلماء الصدقة الجارية بالوقف
Hadit tersebut dikemukakan di dalam bab wakaf, karena para ulama menafsirkan shadaqah jariyah dengan wakaf. (Imam Muhammad Ismail, tt., 87)

Hadits Nabi yang secara tegas menyinggung dianjurkannya ibadah wakaf, yaitu perintah Nabi kepada Umar untuk mewakafkan tanahnya yang ada di Khaibar :

عن ابن عمر رضى الله عنهما ان عمر بن الخطاب اصاب ارضا بخيبر  فئاتى النبي صلى الله عليه وسلم يستئامره فيها  فقال : يا رسول الله انى اصبت ارضا بخيبر لم اصب  مالا قط انفس عندى منه  فما تئامرنى به  قال : ان شئت حبست اصلها فتصدقت بها عمر انه لا يباع ولا يوهب  ولا يرث  وتصدق بها فى الفقراء وفى القربى وفى الرقاب  وفى سبيل الله وابن السبيل والضيف لاجناح على من وليها ان ياكل منها با المعرف ويطعم غير متمول  (رواه مسلم )
Dari Ibnu Umar ra. Berkata, bahwa sahabat Umar Ra. Memperoleh sebidang tanah d Khaibar kemudian menghadap kepada Rasulullah untukm memohon petunjuk Umar berkata : Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah engkau perintahkan kepadaku ? Rasulullah menjawab: Bila kamu suka, kamu tahan (pokoknya) ntanah itu, dan kamu sedekahkan (hasilnya). Kemudian Umar menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak mengapa atau tidak dilarang bagi  yang menguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau makan dengan tidak bermaksud menumpuk harta (HR. Muslim).

Pada sabda Nabi yang lainnya disebutkan :
عن ابن عمر قال : قال عمر للنبي صلى الله عليه وسلم  ان مائة سهم لى بخيبر لم اصب مالا قط اعجب الي منها قد اردت ان اتصدق بها  فقال النبي صلعم : احبس اصلها وسبل ثمرتها  (رواه ألبخارى و مسلم
Dari Ibnu Umar, ia berkata : “Umar mengatakan kepada Nabi Saw, saya mempunyai  seratus dirham saham di Khaibar. Saya belum pernah mendapat harta yang paling saya kagumi seperti itu. Tetapi saya ingin menyedekahkannya. Nabi Saw mengatakan kepada Umar : Tahanlah (jangan jual, hibahkan dan wariskan) asalnya (modal pokok) dan jadikan buahnya sedekah untuk sabilillah” (H.R. Bukhari dan Muslim).
       Bertitik tolak dari beberapa ayat al-Quran dan hadits Nabi yang menyinggung tentang akaf tersebut nampak tidak terlalu tegas. Karena itu sedikit sekali hukum-hukum wakaf yang diterapkan berdasarkan kedua sumber tersebut. Sehingga ajaran wakaf ini diletakan pada wilayah yang bersifat ijtihadi, bukan ta’abudi, khususnya yang berkaitan dengan aspek pengelolaan, jenis wakaf, syarat, peruntukan dan lain-lain.
       Meskipun demikian, ayat al-Quran dan Sunnah yang sedikit itu mampu menjadi pedoman para ahli fikih Islam. Sejak masa Khulafaur Rasyidun sampai sekarang, dalam membahas dan mengembangkan hukum-hukum wakaf dengan menggunakan metode penggalian hukum (ijtihad) mereka. Sebab itu sebagian besar hukum-hukum wakaf dalam Islam ditetapkan sebagai hasil ijtihad, dengan menggunakan metode ijtihad seperti qiyas, maslahah mursalah dan lain-lain.
            Selain dasar hukum melalui Al Qur’an dan Hadist, wakaf telah dikembangkan dan memiliki tata aturan sehingga dapat dijalankan sesuai dengan perkembangan masyarakat untu memperoleh hasil yang optimal dari wakaf tersebut, yaitu :

 Perwakafan Dalam Undang-Undang  Di Indonesia
1.       Wakaf sebagai pranata keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi yang perlu dikelola secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
2.       Wakaf merupakan perbuatan hukum  yang telah lama hidup dan dilaksanakan dalam masyarakat.

Regulasi Perwakafan di Indonesia
1.       Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
2.       Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tantang Wakaf
3.       Peraturan pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004
4.       Peraturan pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.

C.    Rukun Wakaf
Wakaf dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya. Rukun wakaf terdiri dari 4 yaitu :[8]
1)      Wakif ( orang yang mewakafkan harta yang diwakafkan)
2)      Mauquf Bih ( Barang atau harta yang diwakafkan)
3)      Mauquf A’laih (orang yang berhak menerima manfaat wakaf)
4)      Shigat/Akad (pernyataan atau ikrar wakif untuk mewakafkan sebagian harta bendanya)
Unsur-Unsur Wakaf[9]
1.      Wakif
2.      Nadzir
3.      Harta Benda Wakaf
4.      Peruntukan Wakaf
5.      Jangka Waktu Wakaf
6.      Sighat Wakaf/Akad

D.    Syarat Wakaf
Syarat wakaf ialah terpenuhi semua kriteria baik wakif, akad, nadzir, mauquf ‘Alaih dan mauquf bih dalam anjuran syariat islam :
·         Syarat Wakif
Sebagai seorang wakif disyaratkan memiliki kecakapan hukum dalam membelanjakan hartanya, yaitu 4 kriteria :
Merdeka[10]
Wakaf yang dilakukan oleh seorang hamba sahaya (budak) tidak sah, karena wakaf adalah pengguguran hakmilik untuk diserahkan kepada orang lain. Sedangkan hamba sahaya tidak memiliki hak milik, dirinya dan apa yang dimiliki adalah milik tuannya.
Dewasa (Baligh)
Wakaf dilakukan oleh orang yang sudah baligh karena dianggap mampu melakukan akad dan mempertanggung jawabkan semua tindakannya dan menggugurkan hak milik kepada orang lain.
Berakal Sehat[11]
Wakaf yang dilakukan oleh orang gila tidak sah hukumnya sebab ia tidak berakal, tidak mumayyiz, dan tidak cakap melakukan akad serta tindakan lainnya. Demikian pula wakaf orang lemah akal (idiot), sakit atau penurunan akal karena usia tidak sah.
Tidak berada dibawah pengampuan
Orang yang berada dibawah pengampuan dipandang tidak mampu untuk berbuat kebaikan, maka wakaf yang dilakukan hukumnya tidak sah.

·         Syarat Mauquf Bih (Harta Benda yang diwakafkan)
Syarat sah  harta yang diwakagkan harus memenuhi kriteria berikut:[12]
1.      Harta yang diwakafkan harus Mutaqawwam
Menurut mahdzab Hanafi ialah segala sesuatu yang dapat disimpan dan halal digunakan dalam keadaan normal bukan keadaan darurat.
2.      Diketahui dengan yakin ketika diwakafkan
Harta yang akan diwakafkan harus diketahui dengan yakin, sehingga tidak menimbulkan persengketaan. Karena itu tidak sah mewakafkanyang tidak jelas seperti “satu rumah dari dua rumah”.[13]
3.      Milik Wakif
Harta yang diwakafkan merupakan milik penuh dan mengikat bagi wakif ketika ia mewakafkannya, untuk itu tidak sah jika sesuatu bukan milik wakif. Karena wakaf mengandung kemungkinan menggugurkan milik atau sumbangan.
4.      Terpisah, bukan milik bersama.
Memiliki kejelasan secara detail bagian-bagian yang diwakafkan. Karena kebersamaan kepemilikannya menghambat pemanfaatan sebagai sedekah karena Allah semata.

Benda Tidak Bergerak yang Dapat Diwakafkan
1.      Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,baik yang sudah terdaftar maupun yang belum terdaftar.
2.      Bangunan atau bagian bangunan  yang berdiri di atas tanah dan atau bangunan.
3.      Tanaman dan beda lain yang berkaitan dengan tanah
4.      Hal milik atas satuan rumah sesuai dengan peraturan perundag-undangan yang berlaku.
5.      Benda tidak bergerak lain yang sesuai dengan sejarah dan peraturan perundang-unagan.

 Benda Bergerak yang dapat Diwakafkan
1.      Uang Rupiah
2.      Logam Mulia
3.      Surat Berharga
4.      Benda bergerak lain yang berlaku
5.      Kendaraan
6.      Hak atas kekayaan intelektual
7.      Hak sewa sesuai ketentuan syariah dan peraturan perunda-undanga yang berlaku.

·         Syarat Mauquf ‘Alaih (Penerima Wakaf)
Yang dimaksud dengan mauquf alaih adalah tujuan wakaf (peruntukan wakaf). Wakaf harus dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan diperbolehkan Syariat Islam.
a.         Mazdhab Hanafi mensyaratkan agar mauquf ‘alaih ditujukan untuk ibadah menurut pandangan Islam dan menurut keyakinan wakif. [14]
1.      Sah wakaf orang Islam kepada semua syiar-syiar Islam dan pihak kebajikan, seperti orang-orang miskin, rumah sakit, tempat penampungan dan sekolah. Adapun selain itu hukumnya tidak sah.
2.      Sah wakaf non muslim kepada pihak kebajikan umum seperti tempat ibadat yang meliput pembangunan masjid, biaya masjid, bantuan kepada jamaah haji dan lain-lain. Adapun selain itu hukumnya tidak sah.
b.        Madzhab Maliki mensyaratkan agar mauquf alaih untuk ibadat menurut pandangan wakif. Sah wakaf muslim kepada semua syiar Islam dan badan-badan sosial umum. Dan tidak sah wakaf non muslim kepada masjid dan syiar-syiar Islam.


·         Syarat Shighat ( Ikrar Wakaf)
orang yang berakad untuk menyatakan kehendak segala ucapan, tulisan atau isyarat dari dan menjelaskan apa yang diinginkannya. Namun shighat wakaf cukup dengan ijab saja dari wakif tanpa memerlukan qabul dari mauquf alaih. Begitu juga qabul tidak menjadi syarat sahnya wakaf dan juga tidak menjadi syarat untuk berhaknya mauquf alaih memperoleh manfaat harta wakaf, kecuali pada wakaf yang tidak tertentu.

E.     Nadzir
Nadzir adalah pengelola lembaga wakaf yang dapat berbentuk pengelola perseorangan, organisasi dan badan hukum. Nadzir diamanatkan untuk bertanggungjawab sebagai pengelola wakaf, baik yang diterima dari wakif atau yang ditunjuk oleh pemerintah.[15] Menurut UU RI No 41 tahun 2004, Nadzir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
      Nadzir adalah figur penting yang menentukan berkembang atau mengkerdilnya eksistensi wakaf. Diperlukan sosok nadzir yang profesional dalam menangani kasus wakaf sehingga adanya peningkatan pemahaman dan kepercayaan masyarakat terhadap wakaf di Indonesia.
      Dalam menjalankan tugas, nadzir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10%. Klasifikasi nadzir sesuai dengan pengelolaan:
1. Nadzir Perorangan (dewasa, sehata, cakap).
2. Organisasi (Pengurus memenuhi syarat sebagai Nadzir perseorangan, bergerrak dalam bidang sosial/pemdidikan/kemasyarakatan/keagamaan Islam.
3.   Badan Hukum (Pengurus memenuhi syarat sebagai Nadzir perseorangan, Badan Hukum sah, bergerak dalam bidang sosial/ pendidikan/kemasyarakatan /keagamaan Islam.

Tugas Nadzir
1.      Pengadministrasian harta benda wakaf
2.      Mengelola dan mengembangkan harta wakaf sesuai tujuan, fungsi, dan peruntukan.
3.      Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf
4.      Melaporkan pelaksanaan tugas kepada BWI.






Lampiran

Tata Cara Perwakafan Tanah Milik
1.      Calon Wakif menyerahkan bukti kepemilikan tanah yang akan diwakafkan berupa sertifikat, Keterangan tidak sengketa Pendaftaran tanah, Keterangan Bupati tentang kesesuaian Master Plan untuk diteliti PPAIW.
2.      PPAIW melakukan pemeriksaan terhadap Nazir.
3.      Wakif menyatakan Ikrar Wakaf dihadapan PPAIW dengan dihadiri Wakif dan 2 orang saksi bermaterai cukup
4.      PPAIW menuangan Ikrar Wakaf alam bentuk tertulis
5.      PPAIW menuangkan membuat AIW ditandatangani Wakif, Nazir, Saksi dan PPAIW.
6.      AIW diserahkan kepada Nazir beserta dokumen tanah.
7.      PPAIW menerbitkan pendaftaran wakaf dan mendaftarkan kepada BWI dan Menteria Agama dengan tembusan Kemenag dan Kanwil Kemenag Provinsi
8.      PPAIW memberikan bukti pendaftaran harta wakaf kepada Nazir.
9.      Nazir mengurus sertifikat tanah wakaf ke BPN.
10.  Terbit Sertifikat Tanah Wakaf.

Wakaf Benda Bergerak Selain Uang
1.      Calon Wakif menyerahkan dokumen bukti kepemilikan hata benda wakaf (jika ada)
2.      PPAIW melakukan pemeriksaan Nazhir.
3.      Wakif menyatakan Ikrar Wakaf di hadapan PPAIW dengan dihadiri Wakif dan dua oang saksi.
4.      PPAIW menuangkan Ikrara Wakaf dalam bentuk tertulis
5.      PPAIW membuat AIW ditandatangani Wakif, Nazhir, saksi, PPAIW bermaterai cukup.
6.      AIW disrahkan kepada Nazhir beserta Harta Wakaf.
7.      PPAIW mendaftarkan Benda Wakaf kepada BWI dan Menag dengan tembusan Kemenag dan Kanwil Kemenag Provinsi.
8.      Nazhir mengurus pengalihan bukti kepemilikan kepada Instansi terkait.
9.      Terbit bukti kepemilikan Harta Benda Wakaf.











DAFTAR PUSTAKA

·         Departemen Agama, Al-Quran Dan Terjemahnya
·         Tafsir Imam Baghawi
·         Himpunan Perundang-Undangan tentang Wakaf
·         Ensiklopedia Islam Al Kamil
·         Imam Muslim, Shahih Muslim, (Bandung. Tth). Juz II. hlm. 14
·         Asy Syarbini, Mughni al – Muhtaj, (Kairo: Mushtafa Halabi), Juz II,
·         Sabiq, Sayid, Fiqhu as Sunnah, (Libanon: Darul Kitab al-‘Arabi), 1971
·         Suhadi, Imam, Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa), 2002, cet ke-1.
·         Nawawi, Imam, Ar-Raudhah, (Bairut: Dar al-Kutub), tt
·         Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Islam Tentang Wakaf Ijarah Syirkah, cet ke-1, Bandung: PT. Al- Ma’arif
·         Utomo, Setiawan Budi, Fiqih Aktual, Jakarta: Gema Insani Press, 2003.
·         Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Jakarta, cet ke-4, 2006.
·         Sukron Kamil, dkk, Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan, (CSRC:2006)
·         M. Al-Syarbini Al-khatib, Al-iqna fi Hall Al-Alfadz Abi Syuza, (Indonesia: Daar Al-Ihya Al-Kutub, tt).




[1] Dept. Agama, Al Qur’an dan Terjemahnya.
[2] Muhammad Al Khatib, al Iqna (Bairut: Darul Ma’rifah) hlm. 26.
[3] Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Wakaf ( Bab 1, pasal 1 ayat 1).
[4] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, alih bahasa Drs. Muzakir AS, cetakan ke-1 hlm 148.
[5] Ahmad Azhar Basyir MA, Hukum Islam Tentang Wakaf, Ijarah, Syirkah, hlm 7.
[6] Imam Suhadi, Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat, cet. ke-1, hlm 39.
[7] Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual (Jakarta, 2003), hlm 155.
[8] Nawawi, Ar Raudhah  IV hlm 377, dan Asy Syarbini, Mughni Al Muhtaj, hlm 376.
[9] Himpunan Perundang-Undangan Tentang Wakaf (Bab 2, pasal 6).
[10] Al Baijuri, Hasyisyah al Baijuri, Juz II, hlm 44
[11] Asy Syarbini, Mughni Al Muhtaj, (Kairo: Musthafa Halabi), II hlm 377.
[12] Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Fiqih Wakaf, (Jakarta:2006) hlm 26-29.
[13] Asy Syarbini, Mughni Al Muhtaj, (Kairo: Musthafa Halabi), II hlm 377.
[14] Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Fiqih Wakaf, (Jakarta:2006) hlm 46
[15] Sukron Kamil, dkk, Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan, (CSRC:2006), hlm 96

2 komentar:

  1. asslamu'alaikum mba,,postingannya bagus,kebetulan saya juga sedang menyusun skripsi tentang wakaf uang.Kalau boleh mohon masukannya ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah semoga bermanfaat, karena ini juga tugas kuliah saya. kemarin saya berniat untuk melakukan penelitian mengenai wakaf uang di skripsi, tapi terkendala di data sehingga akan sulit untuk memberikan data yang valid. semoga lancar ya kak

      Hapus